Laman

Sabtu, 17 Maret 2012

Infrastruktur Transportasi Negara Khilafah


PDFPrintE-mail

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Seorang ahli teknik sipil bertanya, seperti apa konsep infrastruktur transportasi negara khilafah? Tentu tidak dengan serta merta pertanyaan ini dapat dijawab. Apalagi bagi banyak orang, persoalan transportasi seakan hanya persoalan teknis. Dan di zaman dulu teknologinya masih sangat berbeda, dan jumlah penduduknya juga masih sedikit, sehingga problema kemacetan yang parah seperti saat ini mungkin tidak pernah ada.

Tetapi, bagi seorang muslim pejuang syariah, pertanyaan apapun justru melecutnya untuk lebih mendalami syariat Islam beserta realitas empiris yang ada. Maka dalam persoalan infrastruktur transportasi, kita akan mendapati setidaknya tiga prinsip:

Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggungjawab negara, bukan cuma karena sifatnya yang menjadi tempat lalu lalang manusia, tetapi juga terlalu mahal dan rumit untuk diserahkan ke investor swasta. Di Jakarta, karena inginnya diserahkan ke swasta, pembangunan monorel jadi tidak pernah terlaksana.

Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, setiap bagian kota direncanakan hanya untuk jumlah penduduk tertentu, dan di situ dibangunkan masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, hingga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Bahkan pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya serta untuk menuntut ilmu atau bekerja, karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri.

Navigasi mutlak diperlukan agar perjalanan menjadi aman, tidak tersesat, dan bila ada masalah, dapat ditolong oleh patroli khilafah. Untuk itulah kaum muslimin belajar astronomi dan teknik membuat kompas sampai ke Cina, dan mengembangkan ilmu pemetaan dari astronomi yang teliti. Ratusan geografer menjelajah seluruh penjuru dunia dan membuat reportase negeri-negeri yang unik. Hasilnya, perjalanan haji maupun dagang baik di darat maupun di lautan menjadi semakin aman.

Telekomunikasi dalam ujud yang sederhana juga makin berkembang. Pesan yang dikirim lewat merpati pos, atau sinyal cahaya atau asap dari pos-pos patroli semakin canggih. Para matematikawan bekerja keras membuat kode yang makin efisien dan aman dari penyadapan.

Teknologi & manajemen fisik jalan juga tidak ketinggalan. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, baru Paris yang memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba.

Sedang untuk kendaraannya sendiri, sesuai teknologi saat itu, kaum muslimin telah memuliakan jenis kuda dan unta yang makin kuat menempuh perjalanan. Untuk di laut mereka juga banyak mengembangkan teknologi kapal. Tipe kapal yang ada mulai dari perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya.

Bahkan untuk transportasi udarapun ilmuwan muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalamHistory of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying."

Yang menarik, hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”. Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”, yang rencananya akan terus ke timur menghubungkan seluruh negeri Islam lainnya. Proyek ini diumumkan ke seluruh dunia Islam, dan umat berduyun-duyun berwakaf. Kalau ini selesai, pergerakan pasukan khilafah untuk mempertahankan berbagai negeri Islam yang terancam penjajah juga sangat menghemat waktu. Dari Istanbul ke Makkah yang semula 40 hari perjalanan tinggal menjadi 5 hari!

Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Pada 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. Namun penguasa Arab yang saat itu sudah memberontak terhadap Khilafah karena provokasi Inggris melihat keberadaan jalur kereta ini sebagai ancaman. Maka jalur ini sering disabotase, dan pasukan Khilafah tidak benar-benar sanggup menjaga keamanannya.

Perang Dunia-I mengakhiri semuanya. Tak cuma Khilafah yang bubar, jalur kereta itupun juga berakhir. Kini KA itu tinggal beroperasi sampai perbatasan Jordania – Saudi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar